BSrifa - Oktober 2018, langit Queensland berubah kelam. Fiona Simpson (23 tahun), sedang mengemudi bersama neneknya yang berusia 78 tahun dan bayinya yang baru 4 bulan di rute D’Aguilar Highway, dekat Nanango. Hujan deras turun, lalu badai supercell melepaskan hujan es raksasa sebesar bola tenis. Kaca mobil hancur berhamburan, membuat bagian dalam mobil seakan dihujani peluru es.
Dalam detik genting itu, Fiona melompat ke kursi belakang dan merunduk di atas kursi bayi. Tubuhnya menjadi perisai hidup. Hujan es menghantam punggung, lengan, dan wajahnya hingga dipenuhi memar ungu, luka sobek, dan darah. Bayinya yang tertutup sepenuhnya oleh tubuh sang ibu selamat tanpa cedera serius, hanya sedikit memar ringan.
Tidak berhenti di situ, ketika kaca depan juga pecah, Fiona memindahkan bayinya ke footwell di bagian depan mobil, ruang kecil di bawah kursi yang dianggap paling aman. Ia juga berusaha melindungi neneknya yang mengalami luka parah di lengan, termasuk kulit yang terkelupas akibat hantaman es.
Lebih dari 330 panggilan darurat masuk malam itu. Atap rumah, kendaraan, dan ladang rusak parah akibat badai. Namun, di tengah kerusakan besar, kisah Fiona menjadi sorotan dunia. Seorang ibu yang rela menderita demi melindungi anaknya.
Setelah badai reda, Fiona menulis di Facebook bahwa ia tidak bisa mendengar bayinya menangis karena suara badai begitu keras. Yang ia tahu hanyalah satu hal, apapun yang terjadi, sang bayi harus tetap hidup. Foto-foto luka di punggung dan lengannya yang lebam parah menyebar luas di media, memperlihatkan harga yang ia bayar demi keselamatan putrinya.
Kisah ini kemudian menginspirasi banyak orang. Fiona dipuji publik sebagai pahlawan sejati, bahkan mendapat nominasi penghargaan keberanian. Baginya, itu semua bukan tentang heroisme, melainkan naluri seorang ibu. Dengan sederhana ia berkata, “Saya hanya melakukan apa yang setiap ibu akan lakukan.”